Sabtu, 29 November 2014

Food Conversion Ratio (FCR)

Food Conversion Ratio (FCR)
Standar nilai FCR yang banyak digunakan dalam menentukan tingkat efektifitas dan efisiensi program pakan dalam budidaya udang skala intensif adalah berkisar 1.8 - 2.5.

Dengan mengetahui nilai FCR maka dapat diestimasikan berapa cost (biaya) yang telah dikeluarkan untuk pakan udang dan berapa nilai jual udang pada saat itu.

Perkembangan nilai FCR tersebut perlu dimonitoring pada setiap dilakukan sampling populasi dan biomass secara periodik dalam satu siklus budidaya.

Sebagai upaya lebih mudah memahami maka berikut akan dijelaskan beberapa istilah yang ada yaitu :
1. PL = Post Larva, merupakan istilah untuk menunjukkan umur udang yang biasanya dalam satuan hari. Variabel ini sangat penting karena tingkat kebutuhan udang terhadap pakan selalu berubah berdasarkan pertambahan umur.
2. ABW = Average Body Weight, istilah ini menunjukkan berat rata-rata udang dalam satu petakan tambak pada satu periode tertentu. Variabel diperoleh melalui kegiatan sampling biomass secara periodik.
3. SR = Survival Rate, istilah ini menunjukkan tingkat kehidupan udang dalam satu petakan tambak pada satu periode tertentu dibandingkan dengan padat penebaran pada saat tebar benur. Variabel diperoleh melalui kegiatan sampling populasi secara periodik.
4. Crumble, istilah ini menunjukkan jenis pakan buatan yang berukuran serbuk/butiran halus.
5. Pellet, istilah ini menunjukkan jenis pakan buatan yang berukuran butiran dengan ukuran kecil, sedang dan besar.
6. Nomor Pakan (dengan pengkodean tertentu), istilah ini menunjukkan ukuran butiran pakan udang. Nomor pakan ini dapat berbeda antar produsen/pabrik pakan.
7. Blind Feeding, istilah ini menunjukkan kegiatan pemberian pakan dengan tidak memperhatikan program pakan dan penerapannya tergantung ketersediaan pakan alami di dalam tambak dan biasanya dilakukan pada udang usia benur. Blind Feeding juga digunakan sebagai upaya “memperkenalkan” benur pada pakan buatan dan mengantisipasi berkurangnya/habisnya pakan alami didalam tambak.

Maka dapat dikatakan bahwa suatu program pakan dalam satu siklus budidaya merupakan program yang terukur dan terarah dengan tetap mengacu pada tingkat kebutuhan dan kondisi udang pada saat itu. Terukur, berarti setiap kegiatan pemberian pakan udang selalu memiliki nilai kuantitas yang telah ditentukan berdasarkan pengamatan dan estimasi.Terarah, berarti setiap kegiatan pemberian pakan udang memiliki tolok ukur efektifitas dan efisiensi yaitu Food Conversion Ratio (FCR).



Panen Udang Vaname (litopenaeus vannamei)










Jumat, 21 November 2014

Nitrifikasi dan Denitrifikasi

 APA YANG DIMAKSUD DENGAN NITRIFIKASI DAN DENITRIKASI DALAM TAMBAK?

Mari kita lihat sedikit lebih jauh ke dalam siklus unsur Nitrogen di dalam air tambak. Nitrogen adalah unsur yang banyak dijumpai di dalam protein. Protein yang ada di dalam air tambak terutama berasal dari pakan, dan juga dari sel-sel mahluk hidup di dalam tambak, contohnya bakteri, plankton, dan tentunya udan...g! Permasalah kualitas air menjadi pelik karena nitrogen dalam bentuk-bentuk tertentu (contohnya ammonia, nitrit) bersifat racun bagi udang, sehingga jumlah dari senyawa racun tersebut perlu dikendalikan dengan seksama.

Nitrogen sebagai unsur pembentuk protein, akan mengalami perubahan bentuk ikatan secara kimia (lihat bagan). Perubahan ini terkait rantai makanan di tambak: ada pakan yang akan dimakan udang (diubah menjadi otot/protein tubuh udang), lalu ada protein terbuang ke badan air tambak melalui feses, udang mati, dan sisa pakan yang tidak termakan. Proses penguraian dari ‘protein buangan’ ini akan mengubah bentuk senyawa nitrogen dari bentuk organik (protein, urea, dll) menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti ammonia, nitrit, nitrat, dan akhirnya gas Nitrogen.

Nitrogen organik dalam bentuk sisa pakan, bangkai, urea, dll akan diubah menjadi gas ammonia (NH3) atau ion ammonium (NH4+) secara spontan di dalam air, tanpa memerlukan bantuan bakteri. Kondisi pH akan mempengaruhi apa yang terbentuk: dalam kondisi air tambak dengan pH 6-9, maka sebagian besar nitrogen organik akan diubah menjadi ion ammonium (NH4+). Dalam kondisi lebih basa (pH>9) akan terbentuk lebih banyak gas NH3.

Nitrifikasi dan Denitrifikasi adalah proses di dalam siklus Nitrogen yang dilakukan oleh bakteri-bakteri jenis tertentu. Nitrifikasi adalah proses pengubahan ion ammonium (NH4+) dalam 2 tahap menjadi nitrit, dan akhirnya nitrat. Kedua tahap ini masing-masing dilakukan oleh kelompok bakteri yang berbeda. Kelompok bakteri yang mampu melakukan proses nitrifikasi adalah kelompok khusus yang dinamakan bakteri nitrifikasi autotrof, contohnya Nitrosomonas, Nitrosococcus, Nitrosolobus, Nitrobacter, Nitrospira, dll. Kelompok bakteri ini tumbuh lambat dibandingkan kelompok heterotrof seperti Bacillus atau Vibrio, memerlukan oksigen untuk melakukan proses nitrifikasi, dan tumbuh sangat baik dalam kondisi pH 6.8-7.5. Jika tidak ada oksigen (kondisi anoksik) bakteri tersebut menjadi tidak aktif, dan tidak akan mampu melakukan proses nitrifikasi.

Setelah proses nitrifikasi, Nitrogen tetap berada di perairan tambak dalam bentuk senyawa N organik (di dalam sel bakteria hidup) dan dalam bentuk nitrat. Proses selanjutnya dalam siklus N di perairan adalah proses Denitrifikasi. Denitrifikasi adalah proses penguraian nitrat (NO3-) menjadi gas Nitrogen (N2), yang dilakukan oleh sekelompok bakteri tertentu pula. Patut dicatat bahwa proses Denitrifikasi BUKAN kebalikan dari Nitrifikasi (pengubahan nitrat menjadi ammonium). Siapa yang melakukan proses denitrifikasi? Bakteri tertentu dari kelompok lain yang bersifat heterotrof, yang melakukan tugasnya dalam kondisi anoksik (tidak ada oksigen). Dalam proses ini nitrat akan diubah menjadi gas N2 yang akan dilepas ke udara.

Tugas kita adalah menjaga agar jumlah senyawa yang bersifat racun (ammonia, nitrit) yang terdapat dalam air tambak selalu rendah. Untuk itu harus diupayakan agar proses biologis dengan bantuan bakteri terutama Nitrifikasi dapat berjalan dengan baik. Kondisi budidaya dengan aerasi yang tinggi mungkin tidak mendukung proses Denitrifikasi secara sempurna, karena diperlukan kondisi tanpa oksigen (DO=0). Proses ini kemungkinan hanya dapat terjadi di area-area tertentu di dasar tambak dimana oksigen terlarut sangat rendah (anaerob/anoksik). Nitrat yang terbentuk dari proses nitrifikasi dapat dijaga levelnya dengan melakukan monitoring berkala, dan diikuti dengan pergantian air. 

 Sumber: Nitrification, EPA-USA, November 2002; Nitrogen Removal Basic, S. Myers, August 2010

Sabtu, 15 November 2014

MENGENAL LEBIH JAUH HIDROGEN SULFIDA (H2S) DI TAMBAK

MENGENAL LEBIH JAUH HIDROGEN SULFIDA (H2S) DI TAMBAK

Hidrogen sulfida atau H2S adalah salah satu senyawa toksik yang terdapat di sedimen dasar tambak yang anoksik (tidak ada oksigen atau anaerob). Meskipun bersifat toksik bagi udang dan ikan, dan akan selalu ada di dasar tambak yang anoksik, namun penanggulangannya masih sering masih terabaikan. Dari manakah H2S berasal? Bagaimana H2S bisa bersifat toksik bagi hewan? Bagaimana cara pengendalian H2S di tambak agar tidak berada dalam level yang membahayakan bagi budidaya?

Secara singkat, H2S terbentuk dari: 1) sisa atau buangan dari proses penguraian bahan organik seperti sisa pakan, bangkai udang/ikan, dan plankton yang terdapat di dasar tambak, 2) proses reduksi sulfat (SO42) oleh kelompok bakteri pereduksi sulfur. H2S umumnya bersifat toksik bagi kebanyakan bakteria, namun ada sekelompok bakteri tertentu yang mampu menggunakan H2S yang bersifat toksik ini sebagai sumber energi dan pertumbuhannya. Bakteri fotosintetik anoksigenik (BFA) seperti Rhodobacter, Rhodopseudomonas, Rhodospirillum, dll, serta bakteri golongan chemolitotrof akan mengoksidasi H2S menjadi sulfit (SO32-), dan selanjutnya sulfit diubah menjadi sulfat (SO42-->tidak toksik).

Karena proses pembentukannya yang tanpa oksigen, H2S hanya akan dijumpai dalam lumpur dasar tambak atau di dekat perbatasan (interface) antara permukaan endapan lumpur dan air tambak. Jika air dan lumpur di dasar tambak terusik karena arus air, kegiatan sifon, atau saat hewan makan di atas lumpur tersebut, maka besar kemungkinan H2S akan berkontak dengan udang/ikan dan menyebabkan kondisi keracunan H2S. Jika tercium bau telur busuk saat endapan di dasar tambak dibongkar, itu merupakan indikasi terjadinya kondisi anaerobik dan adanya gas H2S. Secara praktis, jika kita mampu mencium bau telur busuk dari lumpur tambak maka itu sepadan dengan kira-kira 0.0047 ppm.

H2S bersifat toksik dalam kondisi tidak terionisasi. Hewan-hewan akuatik (ikan & udang) cukup rentan terhadap H2S. Contohnya, untuk juvenile Macrobrachium rosenbergii, level konsentrasi H2S yang aman adalah sebesar 0.26 ppm. P. japonicus akan kehilangan kesetimbangan di level 0.1 hingga 2.0 ppm (H2S), dan akan mati pada konsentrasi 4 ppm. Konsentrasi antara 1-6 ppm merupakan dosis mematikan bagi Lepomis gibborus, Salmo gairdneri, Catostomus commersoni, Carassius auratus, dan Cyprinus carpio. LC50 (24 jam) untuk Ictalurus punctatus adalah 0.53 to 0.8 ppm. Konsentrasi yang lebih rendah (0.3 ppm) akan bersifat fatal bagi telur atau larva. Konsentrasi H2S ideal yang diinginkan di tambak adalah 0 (nol).

Ancaman H2S bagi hewan akuatik diantaranya adalah kerusakan pada insang, stress, hingga kematian. Jika hewan terdedah H2S dalam konsentrasi sublethal dan dalam waktu yang lama, gejala yang mungkin timbul adalah berkurangnya nafsu makan, pertumbuhan yang lambat, peningkatan kerentanan terhadap serangan bibit penyakit lain dan parasit, hingga terjadinya peningkatan kematian.

Keberadaan H2S di dalam tambak dipengaruhi oleh pH, suhu, dan kadar oksigen terlarut (DO). Toksisitas tertinggi H2S adalah pada pH < 6.5. Tambak udang umumnya memiliki kisaran pH antara 7-9, namun kita patut waspada jika sewaktu-waktu terjadi penurunan pH yang disebabkan oleh respirasi alga, terutama saat dini hari. Berlawanan dengan pH, toksisitas H2S meningkat di suhu tinggi. Sebaliknya, DO yang tinggi akan menurunkan toksisitas H2S karena keberadaan oksigen dapat mengubah H2S menjadi bentuk terionisasi yang bersifat non-toksik.

Patut diingat bahwa proses terbentuknya H2S adalah bagian dari siklus Sulfur yang akan terus terjadi di tambak kita. Cara terbaik untuk mengatasi H2S adalah dengan melakukan pencegahan akumulasi gas toksik tersebut di dasar tambak. H2S dapat ditanggulangi dengan upaya yang terpadu baik secara fisik maupun biologis (lihat tabel), dengan memperhatikan proses terbentuknya H2S, serta faktor-faktor lingkungan di air tambak yang dapat mempengaruhi toksisitasnya.

Hal terpenting adalah selalu melakukan pemantauan dan upaya yang teratur secara berkala, sehingga kualitas air tambak dapat selalu dipertahankan dalam kondisi yang baik. (Dari berbagai sumber)